loading...

Di Hari Raya, Instansi Negara Berlomba Provokasi SARA

Cuplikan video pemenang Police Movie Festival yang dianggap menyudutkan umat Islam
Oleh: Patrick Wilson*)

 Ketika Presiden Jokowi membukakan pintu bagi pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GMPF-MUI) di Istana, para tokoh itu tengah mempertontonkan keteladanan. Setidaknya, ada upaya dari mereka, salah satu atau keduanya, untuk segera mengakhiri perpecahan di tengah masyarakat. Rekonsiliasi. Di hari yang fitri, saat umat Islam merayakan kemenangan dengan saling memaafkan antar sesama mereka, upaya menyatukan perbedaan seperti itu memang harus dilakukan. Lupakan sejenak siapa yang salah atau yang memulai ketegangan ini. Sudah semestinya rakyat mendukung pemerintahnya, dan sudah seharusnya pula pemerintah tidak memusuhi rakyatnya.

Namun, langkah positif itu seolah coba dirusak oleh kelompok-kelompok yang menjadi bagian dari pemerintah sendiri. Di hari yang suci, Lebaran Idul Fitri, provokasi SARA yang kembali menyudutkan umat Islam, tetap dilakukan. Berkedok imbauan toleransi, instansi negara, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kepolisian RI, malah menyulut prahara. Kedua lembaga itu, menyajikan video-video yang bernuansa provokatif ke ruang publik. Dalam tayangan itu, pemeluk Islam digambarkan tidak toleran, anti terhadap perbedaan keyakinan. Karenanya di hari yang fitri mereka diminta untuk merederadikalisasi diri. Entah disegaja atau karena kesalahan semata akibat kebodohan mereka, tetapi itulah kenyataan yang ada.

Wajar jika umat Islam bereaksi dan meminta kedua lembaga negara itu menghapus unggahan videonya. Seperti yang dilakukan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Mereka gerah dengan sikap BNPT dan Polri yang dinilai selalu menstigmasi umat Islam dan menampilkannya dalam sosok yang buruk. Intoleran, antikeberagaman, bahkan yang lebih parah, dianggap sebagai bibit-bibit teroris yang setiap saat bisa merong-rong ketentraman di negeri ini. Mungkin mereka lupa, Islam adalah ajaran kedamaian. Siapapun yang mendukung kekerasan dan aksi teror terhadap warga tak berdosa, bukanlah bagian dari agama itu.

Hal serupa pernah dilakukan kandidat Pilkada DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful dalam kampanye mereka beberapa waktu lalu. Juga lewat video, mereka menampilkan sekelompok orang yang memakai atribut keagamaan tengah bertindak anarkis, bahkan beringas terhadap kaum perempuan. Orang-orang itu berteriak, membentak, dan meneror warga yang berasal dari ras berbeda, sembari membawa-bawa spanduk bertuliskan “Ganyang Cina”.

Sementara kelompok lain, termasuk Ahok, digambarkan sebagai orang-orang yang berjasa terhadap negara. Mereka berprestasi, pahlawan bagi negeri ini. Ditambah orasi berapi-api dari Djarot dengan ujaran-ujaran yang semakin mendiskriminasi ras dan golongan tertentu itu. Bagi mereka, hanya kelompoknya yang benar, sementara yang lain cuma perusak kebhinekaan, dan tidak pula berguna bagi negara.

Propaganda melalui tayangan video ini diulangi lagi oleh BNPT dan Polri. Dalam video yang dibuat BNPT, sejumlah orang dari berbagai agama yang diakui di Indonesia, bergantian memberikan ucapan selamat hari raya kepada umat Islam. Namun, niat yang baik itu disampaikan dengan cara yang salah, karena narasi yang dibangun dirasa sangat menyudutkan kaum muslim. Mereka mengajak umat Islam di hari kemenangan ini untuk menjaga kebhinekaan dan toleransi sebagai upaya deradikalisasi diri. Memang banyak tafsir yang bisa dipakai untuk memaknai maksud dari video tersebut. Tetapi tetap saja, lebih banyak kesan negatif dibanding positifnya.

Apakah BNPT menuduh umat Islam selama ini intoleran dan antikeberagaman, sehingga perlu menyerukan agar menjaga kebhinekaan di hari raya? Ataukah BNPT menganggap kaum muslim sebagai bibit-bibit teroris sehingga mereka harus menjalani upaya deradikalisasi diri di hari yang fitri? Kenapa imbauan serupa tidak disampaikan pula kepada agama-agama lain di hari besar mereka? Anggapan bahwa BNPT sedang melakukan provokasi SARA, entah disengaja atau tidak, dengan mudah bisa dibuktikan.

Belum reda kekisruhan ini, Polri ikut masuk ke gelanggang dengan provokasi yang jauh lebih parah. Akun Twitter resmi Divisi Humas Mabes Polri, @DivHumasPolri mencuitkan sebuah video pendek pemenang lomba Police Movie Festival. Dalam video itu digambarkan, umat Islam yang sedang menggelar pengajian sehingga memblokade jalan. Saat sebuah ambulans yang sedang membawa pasien kritis hendak lewat, mereka enggan memberi jalan. Pasien tersebut ditampilkan sebagai nonmuslim karena memakai embel-embel keagamaan tertentu.

Peserta pengajian itu bersikukuh tidak mau membuka jalan, karena pasien itu berbeda keyakinan, meski telah diberitahu tidak ada jalan lain menuju rumah sakit akibat jembatan ambruk. Sungguh teramat buruk sikap umat Islam mereka gambarkan dalam video itu. Rasanya tidak ada orang yang sebejat itu, yang berperilaku tidak manusiawi seperti itu, terutama mereka yang taat kepada ajaran agamanya.

Masih lekat dalam ingatan kita saat aksi demonstrasi umat Islam pada 11 Februari 2017, yang menuntut keadilan terhadap penistaan agama yang dilakukan Ahok. Kala itu, ada pasangan pengantin beragama Kristen hendak menjalani prosesi pernikahan di Gereja Katedral, persis di depan Masjid Istiqlal, salah satu tempat konsentrasi massa.

Apa yang terjadi saat itu bertolakbelakang dengan provokasi Polri. Pengantin beda agama itu dikawal dengan gelak tawa dan keramahan oleh umat Islam, dipayungi dan diberi jalan. Mereka diistimewakan di hari bahagia mereka. Apakah itu bukan bukti toleransi? Jadi umat Islam mana sebenarnya yang digambarkan tidak manusiawi itu? Pengantin saja diutamakan, apalagi ambulans yang membawa pasien kritis.

Soal penghalangan ambulans, Kompas edisi 10 November 2015 pernah memberitakan sebuah iring-iringan motor gede (moge) di Bali yang dikawal petugas polisi, menghalangi laju ambulans, meski sirine kendaraan tersebut meraung-raung meminta jalan. Dengan arogansi luar biasa, para pemilik sepeda motor mewah tersebut tetap berjalan beriringan di tengah jalan raya, tanpa menyisakan ruang bagi ambulans mendahului mereka. Kenapa Polri tidak menuduh mereka intoleran, apa karena mereka orang kaya, atau ada salah seorang anggotanya di konvoi itu, sehingga menutup mata walau sudah diberitakan media?

BNPT telah menghapus videonya dari ruang publik. Mungkin mereka menyadari kesalahannya atau hanya sekedar meredakan ketegangan di masyarakat. Sementara Polri masih belum. Video mereka masih bisa diakses oleh pengguna media sosial. Ada baiknya Polri meniru langkah Jokowi yang sudah membuka komunikasi dengan kelompok Islam. Jika belum mau merangkul, setidaknya jangan memprovokasi mereka. Kapan penduduk negeri ini akan berhenti bertikai, kalau keyakinan mereka terus saja dinodai?

Sumber: Politiktoday

0 Response to "Di Hari Raya, Instansi Negara Berlomba Provokasi SARA"

Post a Comment