loading...

Sikap “Anti-Islam” Warisan Penjajah Belanda?

Oleh:  Fathur Rohman

Adalah islamolog kebangsaan Prancis yang berdomisili di tanah jajahan Prancis, Aljazair, yang mengeluarkan pernyataan kontroversial.

Prof. Bousquet, nama islamolog itu, menyatakan ketidaksetujuannya dengan sikap Pemerintah Hindia Belanda saat itu. Ia memandang sikap penjajah Belanda terhadap orang Islam, justru “terlalu lembek dan mengambil muka.

“Pernyataan tersebut muncul selepas lawatannya ke Indonesia. Kontan tudingan itu tak luput dari tanggapan M Natsir, jurnalis muda muslim yang berusia 31 tahun kala itu.

Dalam majalah Panji Islam (Juli 1939), Natsir menyebut tudingan Bousquet itu sebagai “salah-wesel” alias salah alamat. Bagaimana tidak memancing kritik, sementara dalam realitanya penjajah bertindak sedemikian menindas umat Islam, malah oleh islamolog Prancis disimpulkan sebagai sebaliknya.

Dalam telaahnya, Prof. Bousquet menyuruh memperbandingkan sikap Pemerintah kepada “Taman Siswa” dan “Muhammadiyah”, sebagai bukti bahwa Pemerintah Belanda,—katanya—, pro-Islam dan anti-Nasional. Dengan argumentasi yang logis, retoris, dan dialektis, Natsir pun menjabarkan bukti-bukti yang membantah tudingan “salah-wesel” itu.

Diskriminasi Ormas

Sebagai bukti awal, Natsir membuka tabir soal kesan Belanda baik kepada Muhammadiyah. Karena setelah dibuka, yang sebenarnya pun terkuak. Bantuan sosial justru jelas tidak memihak kelompokkelompok Islam. Tidak ada sikap adil dan proporsional.

“Pemerintah memberi subsidi kepada Muhammadiyah. Betul! Akan tetapi bagaimanakah kalau tidak diberi, sedangkan zending dan missi mendapat bantuan yang berlipat ganda dari itu? Padahal Pemerintah menurut dasar pemerintahannya harus sama-sama adil terhadap segala macam agama!” Demikian Natsir menggugat sesuai fakta.

Diskriminasi Guru dan Sekolah

Natsir pun membongkar realita lainnya soal perlakuan diskriminatif dalam “pajak penghasilan” (loonbelasting) terhadap sekolah-sekolah Islam swasta. “Dan waktu Kepala Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara pergi audensi, untuk melepaskan guru-guru Taman Siswa dari “loonbelasting”, Pemerintahpun tidak enggan memberi kelonggaran; hal itu kalau diselidiki benar, sebenarnya satu hal jang “ajaib”, sebab sekolah-sekolah partikelir Islam, yang bertebaran itupun, seperti Taman Siswa juga dalam urusan keuangannya. Kenapakah guru-guru sekolah partikelir Islam terus membayar “loonbelasting”, sedang Taman Siswa tidak!”
Perihal adanya “larangan mengajar” (onderwijsverbod) kepada guru-guru Taman Siswa, Natsir pun menceritakan perlakuan lebih keji kepada para da’i Muhammadiyah.

“Maksud kita mengemukakan hal ini tidak apa-apa, melainkan menunjukkan bahwa terhadap Taman Siswa sebagai aliran Kebangsaan pun Pemerintah tidak enggan memberi bantuan jika perlu. Pernah guru-guru Taman Siswa mendapat “onderwijsverbod”. Benar! “Tetapi, berapa banyak dari muballighin Muhammadiyah yang sudah ditangkap dan sudah dihukum, berapa banyaknya sekolah Muhammadiyah yang sudah ditutup oleh Pemerintah, ataupun dengan perantaraan adat dari salah satu negeri yang beradat?”

Diskriminasi Politik

Tak hanya di sektor pendidikan, Natsir juga membantah kerancuan berpikir Bousquet dengan mencontohkan diskriminasi di sektor politik pemerintahan. “Pernahkah Pemerintah menolak permintaan Parindra atau Pasundan umpamanya, untuk diberi subsidi lantaran kebangsaannya? Burgemeester yang pertama sekali, yang telah diangkat oleh Pemerintah adalah orang Parindra!” Pada 1940, tercatat Burgemeester (pejabat kotapraja) memang berasal dari Parindra, partai yang berhaluan ko-operatif (sudi bekerjasama dengan penjajah Belanda).

Diskriminasi Tokoh

Selanjutnya Natsir mencontohkan diskriminasi yang menimpa sosok personal. “Pada waktu almarhum Cokroaminoto meninggal, kita tidak dengar bahwa ada wakil dari Pemerintah yang turut melawat. Akan tetapi cukup pembesar-pembesar Pemerintah yang menunjukkan perhatiannja, diwaktu dr. Sutomo meninggal.”
Sebagaimana diketahui Cokroaminoto adalah sosok penting dari kelompok Islam. Ia merupakan tokoh besar Sarekat Islam dan kemudian PSII. Adapun Sutomo tak lain jebolan Boedi Oetomo.
Diskriminasi Hukum

Diskriminasi Hukum atau kezaliman yang menimpa umat Islam, nyatanya menjelma pula di sektor penegakan hukum. Tuntutan-tuntutan ‘mosi’ koalisi umat Islam, terkait berbagai kasus ketidakadilan aturan hukum, tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah penjajah Belanda.

“Mosi Majelis Islam A’la, satu badan pergabungan dari perkumpulan-perkumpululan Islam yang besar, yakni mulanya yang berhubung dengan hinaan-hinaan atas agama Islam, sampai sekarang belum ada bekas-bekas perhatian Pemerintah atasnya, sesudah lebih dari setahun. Hal ini tentu tidak dapat dijadikan penguatkan dalil Prof. Bousquet itu, entahlah, kalau untuk yang sebaliknya.” Demikian Natsir menguraikan dalam M. Natsir. Capita Selecta, Jilid I.
Seperti dijelaskan Muhammad Cheng Ho (hidayatullah.com, 2016), setelah didahului sikap kompromi dan toleransi antar ormas Islam, serta aksi perlawanan kaum muslimin terhadap pemerintah kolonial, kaum adat, dan penista agama, kemudian mendorong berdirinya suatu federasi Islam yang baru, bernama Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) di Surabaya pada tanggal 21 September 1937.
Dari 5 realita sosial di atas, tentu bukan berarti Natsir menyetujui penindasan atas kelompok nasionalis. Melainkan ia hanya menunjukkan kerancuan berpikir Bousquet yang mengambil kesimpulan tak berdasar.

Sebab kalangan nasionalis pun, banyaklah yang merupakan muslim bawaan dari bayi. Dan dalam diri muslim Indonesia, nasionalisme itu pun mekar lestari. Bahkan Natsir tegas berkata, “Kita berkeyakinan yang tak akan kunjung kering, bahwa di atas tanah dan dalam iklim Islamlah, Pancasila akan hidup subur.”

Maka setelah menerangkan 5 bukti di atas, dengan nada retoris, Natsir pun memungkas argumen bantahannya terhadap telaah Prof Bousquet, dengan balik bertanya: Sekarang, kalau andai kata ada orang yang menarik kesimpulan, bahwa Pemerintah “pro-nasional” dan “anti-Islam” bagaimana pulakah akan jawabnya?

Pegiat CADIK Indonesia ( cadik.id ) , Alumus SPI Fatahillah Jakarta
Dimuat: Hidayatullah 

0 Response to "Sikap “Anti-Islam” Warisan Penjajah Belanda?"

Post a Comment