loading...

OTT Recehan, Lembaga Superbody yang Mulai Kehilangan Nyali

Oleh: Patrick Wilson

Penangkapan pejabat Kejaksaan Tinggi Bengkulu dalam operasi tangkap tangan (OTT) karena diduga menerima uang suap, menyisakan sekelumit komentar miring terhadap lembaga antirasuah. Bukannya sanjung puji yang didapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena berhasil mengungkap korupsi, melainkan cemoohan yang dituai, lantaran dianggap mengusut kasus kelas teri. Frasa bernada sindiran, “OTT recehan” pun sempat berkumandang di ruang-ruang publik selama beberapa saat.

Wajar banyak masyarakat yang tidak puas dengan kinerja KPK itu. Memang mereka tidak setuju dengan perbuatan koruptif, tetapi jika uang suap yang disita penyidik hanya Rp10 juta dalam OTT tersebut, kenapa mesti KPK pula yang turun tangan. Tempat kejadian perkaranya di daerah lagi. Mungkin biaya operasional penyidik dari Jakarta, jauh lebih besar dari uang yang disita.

Sindiran itu juga disuarakan sejumlah jaksa dari berbagai daerah di Nusantara. Mereka kecewa karena menilai KPK sengaja meruntuhkan wibawa institusi Adhyaksa. Suapnya cuma Rp10 juta, tapi gaungnya sangat membahana.

Ini menjadi sebuah ironi. Sebuah lembaga superbody, yang didukung fasilitas mumpuni, dan memiliki anggaran keuangan yang tinggi, namun kurang mampu menunjukkan prestasi dalam mengusut kasus-kasus besar, terutama skandal mega korupsi.

Contohnya saja kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta. Meski Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah resmi menyatakan ada kerugian uang negara di sana, sebesar Rp191 miliar, tetapi KPK bergeming. Sejumlah bukti yang sudah terpapar jelas di depan mata,

Bahkan ketika gubernur Ibu Kota kala itu, yang merupakan orang dekat penguasa, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyambangi KPK guna memberikan klarifikasi, ia disambut ramah. Ujung-ujungnya, pimpinan lembaga antirasuah itu tanpa malu-malu mengeluarkan pernyataan yang terasa amat janggal dalam dunia penegakan hukum, bahwa pemprov tidak memiliki niat jahat dalam pembelian lahan itu.

Perbuatan telah terjadi, negara sudah dirugikan, tetapi karena berdasarkan hasil terawangan KPK, Ahok tidak memiliki niat jahat di dalam hatinya, maka kasusnya tidak perlu diusut. Begitulah metode KPK pimpinan Agus Rahardjo dalam memberantas korupsi di negeri ini.

Beda perlakuan yang diterima oleh orang-orang yang tidak dekat dengan rezim penguasa, apalagi bagi mereka yang menentangnya. Lihat saja apa yang menimpa mantan Ketua MPR, Amien Rais. Jaksa KPK menyebut-nyebut namanya di persidangan sebagai salah satu orang yang menerima aliran dana korupsi alat kesehatan dengan terdakwa mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.

Tanpa pernah diperiksa dan diselidiki, namanya diungkap ke publik sebagai penerima uang yang diduga berasal dari hasil korupsi. Ketika Amien berinisiatif mendatangi KPK, untuk memberikan klarifikasi, pemimpin lembaga itu menolaknya. Mereka beralasan KPK tidak akan menerima kunjungan orang yang berhubungan dengan kasus yang tengah ditangani. Lah kenapa sebelumnya Ahok bisa diterima?

Jika diperhatikan, banyak kejanggalan yang dilakukan KPK pada era kepemimpinan komisioner yang sekarang. Mulai dari lembeknya sikap mereka terhadap para koruptor yang berasal dari lingkaran kekuasaan, seperti contohnya Ahok dan adik ipar Jokowi, Arif Budi Sulistyo, yang diduga terlibat kasus suap pajak, hingga memprioritaskan penanganan perkara-perkara receh ketimbang mengusut kasus besar yang jelas-jelas banyak merugikan keuangan negara.

Sebelum melakukan OTT Rp10 juta di Bengkulu ini, KPK juga pernah dikritik karena menangkap Ketua DPD, Irman Gusman, yang menerima suap Rp100 juta. Sekali lagi, kita tidak membenarkan perbuatan korupsi. Tetapi yang ingin disoroti adalah anggaran besar yang dihabiskan KPK dalam setiap operasinya, hanya memberikan kontribusi kecil bagi negara.

Pakar Hukum Pidana, Romli Atmasasmita, yang merupakan pendiri sekaligus perancang UU KPK, pernah melakukan kajian terhadap anggaran yang dikeluarkan negara terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya, penanganan korupsi telah menghabiskan dana mencapai Rp50 triliun. Sementara pengembalian kerugian negara belum mencapai Rp10 triliun.

Ketimpangan besarnya uang keluar dibanding uang masuk ini, niscaya akan semakin melebar, jika KPK meneruskan kebijakannya melakukan OTT recehan. Padahal dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, telah diatur bahwa penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK terkait kerugian negara di atas Rp1 miliar.

Ini dimaksudkan agar anggaran besar tidak dimubazirkan begitu saja, lantaran dipakai untuk mengejar koruptor-koruptor kecil. Melainkan supaya KPK fokus meringkus para penjahat kelas kakap yang telah merampok keuangan negara, yang membuat rakyat di negeri ini menderita.

Akan lebih bermanfaat jika kewenangan dan anggaran besar yang dimiliki itu dipakai guna menjerat leher koruptor bejat yang mencuri miliaran bahkan triliunan rupiah. Seperti di kasus Sumber Waras, Reklamasi Teluk Jakarta dan skandal bancakan uang suap e-KTP. Tidak sedikit kerugian negara di sana.

Jangan seperti macan ompong, yang kehilangan nyali ketika sudah berhadapan dengan kroni rezim penguasa. Simpati rakyat sudah kian tergerus terhadap KPK. Banyak yang mulai meragukan lembaga ini serius menangani korupsi, karena terkesan tebang pilih. Jika KPK sudah tidak bisa dipercaya, kepada siapa lagi harapan kita sandarkan, untuk menyelamatkan negeri yang tengah digerogoti korupsi siang dan malam ini?

Sumber: Politiktoday

0 Response to "OTT Recehan, Lembaga Superbody yang Mulai Kehilangan Nyali"

Post a Comment