loading...

Barat dan Isu Terorisme

Barat dan Isu Terorisme [1]
Oleh: Imam Nawawi

KATA teror dan terorisme kini telah menjadi momok bersama, sekalipun secara definitif, makna dari kata terorisme lebih dihegemoni oleh Barat dan dalam banyak kasus justru menjadi alat pembenaran dari sifat barbarisme mereka.

Pasca tragedi Black September 2001, dengan serta merta Barat yang diwakili Amerika menyerang Pakistan. Beragam tragedi kecil pendukung bahwa terorisme mengancam dunia pun diciptakan dimana-mana, tidak terkecuali di Indonesia. Negeri yang tak pernah mengenal bom kecuali pada masa penjajahan dan agresi militer Belanda I dan II itu pun heboh dengan peristiwa bom Bali, Mariot dan lain sebagainya.

Setelah itu, UU Terorisme pun hadir, sampai ada Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror Mabes Polri. Namun, dari rentetan peristiwa yang disebut terorisme itu, benarkah umat Islam aktor intelektual dan pelakunya? Atau lebih jauh, apakah itu inti dari ajaran Islam?

Sebuah memey di media sosial menjelaskan, “Kalau benar Islam mengajarkan terorisme, tentu tidak akan ada lagi manusia selain Islam yang ada di muka bumi ini.”

Pernyataan ini ada benarnya. Dalam sejarahnya Islam adalah satu-satunya ajaran yang dalam perang pun mesti menjaga hak hidup anak-anak, wanita, manula (tak berdaya) dan orang sakit.

Untuk itu, melihat terorisme hari ini tidak bisa semata merujuk pada apa yang disampaikan media, terutama media Barat. Kita dituntut untuk lebih jeli, cerdas dan komprehensif dalam melihat kasus-kasus yang memang secara nalar umum bisa diduga sebagai peristiwa yang direkayasa. Sebab, setelah terjadi apa yang disebut aksi terorisme, tidak lama kemudian Islam sebagai agama beserta umatnya pasti menjadi kambing hitam yang akan dipimpong kesana-kemari.

Pasca tragedi Paris, Amerika Serikat (AS) menjadi pihak paling agresif menghimpun dukungan untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai ISIS alias NIIS.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengajak Russia bersama-sama fokus melawan NIIS dan mendorong agar Moskwa dan Barat mengesampingkan perbedaan dan bertempur bersama melawan NIIS (Kompas, 19/11).

Rusia memang menjadi negara yang paling mudah untuk diajak dalam isu NIIS, sebab awal November lalu Pesawat Airbus A321 milik Rusia yang berpenumpang 224 orang jatuh di Sinai.

Tragedi Paris pun menjadi pelengkap sempurna bahwa Rusia juga bagian dari target yang diincar oleh NIIS.
Dalam konteks ini, mungkin benar semua itu dilakukan oleh NIIS. Tetapi, yang perlu kita cermati, dalam upaya melawan NIIS itu ada kata Islam. Dengan kata lain, terorisme memang otentik dari Islam dan tidak mungkin dilaukan oleh umat beragama selain Islam. Artinya, Paris menjadi gerbang kesekian untuk menjadikan segala tindakan Barat terhadap Islam dengan senjata sebagai tindakan wajar, sah dan patut diapresiasi.

Padahal, negara-negara berpenduduk umat Islam tidak memiliki kecanggihan senjata seperti Barat, apalagi Indonesia. Lantas bagaimana mereka bisa memiliki senjata, bom dan dalam konteks Barat yang amat canggih dan ketat dalam hal keamanan bisa terkecoh oleh umat Islam yang kemudian mereka sebut sebagai teroris?

Masih banyak kejanggalan dalam isu terorisme ini. Terlebih jika melihat realitas umat Islam di Indonesia, jangankan mikir senjata, untuk bisa makan dan sekolah layak saja kesulitan.

Dalam Teori Maslow, orang yang masih berada pada pemenuhan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) tidak mungkin memiliki kebutuhan aktualisasi diri. Lantas, mengapa bisa di Indonesia juga pernah ada tragedi bom?

Sebaliknya, Barat dalam sejarahnya adalah bangsa yang gemar berperang, bahkan menjarah dengan menjajah. Indonesia adalah negeri jajahan Belanda selama 350 tahun.

Mereka telah tampil sebagai negara dengan persenjataan modern sejak abad pertengahan.

Hingga kini Barat pula yang secara militer juga paling maju di dunia. Artinya, yang bisa merekayasa ledakan bom di sana dan di sini tidak bisa tidak dilakukan kecuali oleh unsur mereka sendiri, tentu dengan beragam taktik yang mereka gunakan. Dan, sebagai negara dengan sejarah sebagai penjajah, membuat makar terhadap hal-hal seperti itu, bukanlah pekerjaan berat bagi mereka.

Oleh karena itu patut direview lebih dalam bahwa apakah setiap terorisme mutlak berbau Islam! Indeks Terorisme Global yang dirilis Institute of Economic and Peace (IEP) yang dilansir Russia Today, Kamis (19/11/2015) mencatat bahwa negara-negara Barat, relatif aman dari aksi teror dibandingkan dengan di wilayah lain seperti Afrika dan Timur Tengah.
Dalam 15 tahun terakhir, hanya 2,6 persen dari jumlah seluruh korban jiwa aksi terorisme di seluruh dunia terjadi di Barat, jumlah itu bahkan hanya mencapai 0,5 persen jika korban dari peristiwa 9/11 tidak dihitung.
Lone Wolf (pelaku tunggal) bertanggung jawab atas 70 persen jumlah korban tewas aksi terorisme di Barat sejak 2006.

Sebanyak 80 persen dari aksi teror tersebut dilakukan oleh ekstremis sayap kanan, golongan nasionalis, pendukung supremasi, kelompok ekstremis anti pemerintah, dan penganut ideologi politik lainnya. Pelaku dari kelompok Islam hanya sebagian kecil dari seluruh aksi tersebut.

Disebutkan juga bahwa meskipun aksi teror dan jumlah korbannya meningkat secara signifikan alam 15 tahun terakhir, secara global, kematian akibat bunuh diri jumlahnya 13 kali lebih banyak dibandingkan kematian akibat aksi teror.

Imbas Terorisme
Pasa penembakan di Paris, Prancis Jumat (13/11/2015) yang menewaskan 153 jiwa, masjid-masjid di Amerika Serikat (AS) dan Kanada mengalami peningkatan vandalisme dan ancaman.

Pusat kegiatan Islam menerima pesan telepon bernada kebencian dan sejumlah masjid dikotori grafiti, dibakar dan pesan balas dendam. Demikian dilaporkan BBC, Kamis (19/11/2015).

Di Kanada, seorang pria ditahan polisi setelah mengeluarkan video mengancam warga Muslim di Quebec.
Dengan mencoreng wajahnya, dia mengatakan dirinya akan membunuh “satu warga Arab per minggu”.
Peningkatan perasaan anti-Muslim terjadi setelah 129 orang tewas dan lebih 350 terluka karena serangan senjata dan bom terkait milisi kelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS.

“Keadaannya semakin suram,” kata Ibrahim Hooper dari Council on American-Islamic relations (CAIR) yang bermarkas di Amerika.

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan, dirinya “sangat terganggu” setelah terjadinya pembakaran masjid Kawartha Muslim Religious Association di Peterborough, Ontario.

Apabila hal demikian telah menjadi data dan hampir bisa dipastikan bahwa setiap muncul apa yang disebut media Barat sebagai terorisme kemudian Islam akan menjadi kambing hitam.

Maka, kita paut curiga sejatinya terorisme tidak lebih dari sebuah ‘permainan’ yang sengaja diciptakan untuk melegalkan segala macam intimidasi atau bahkan teror itu sendiri terhadap umat Islam.

Sebagaimana kata terorisme dimulai sejak terjadinya tragedi Black September di Pentagon AS, pada 20 septermber 2001 presiden Amerika Serikat George Bush menyampaikan pidato di depan kongres Amerika Serikat. Inti pidato tersebut terangkum dalam kalimat “setiap bangsa, di belahan bumi mana pun, kini harus membuat keputusan. apakah mereka bersama kita atau bersama teroris (either you are with us or you are with the terrorists).”

Uumat Islam jelas menjadi kambing hitam oleh Barat,

Teror Ekonomi
Tetapi apakah terorisme itu bersifat mutlak? Tidak, tergantung apakah simetris dengan kepentingan Barat atau tidak. Dalam kasus Israel – Palestina, aksi-aksi perlawanan Palestina kerap disebut sebagai aksi terorisme. Sementara pembunuhan yang dilakukan tentara Israel terhadap warga sipil bahkan anak-anak tidak terkategori terorisme.

Bagaimana tidak adilnya Barat (termasuk medianya) ketika memandang tindakan orang Palestina mempertahankan diri dari penjajahan Zionis-Israel disebut terorisme sedangkan tindakan Israel disebut kotra terorisme. Artinya sudah ada keberpihakan yang tidak adil dalam hal ini.

Yang tidak kala penting, selain menghadapi permainan terorisme politik Barat, umat Islam  sedang menghadapi teror ekonomi. Termasuk yang terjadi di negeri ini.

Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Pratikno mengatakan hingga saat ini aset negara sekitar 70-80 persen telah dikuasi bangsa asing.

“Kondisi bangsa kita saat ini sudah mengkhawatirkan sehingga tanpa dukungan dan kebijakan oleh semua elemen bangsa maka lambat laun seluruh aset akan jatuh ke tangan orang asing,” katanya saat membawakan arahan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Keluarga Alumni UGM (KAGAMA) menyambut pra Munas XII 2014 di Kendari, Sabtu,” seperti dilansir laman suarapembaruan.com pada 13 November 2013.

Perusahaan-perusahaan multinasional tidak saja menjarah kekayaan alam negeri ini, tetapi lebih jauh bahkan bisa mengendalikan arah kebijakan negara. Ramainya kasus kontrak Freeport hingga detik ini mungkin bisa dibingkai dalam istilah tersebut, yakni teror ekonomi.

Lihat saja sejauh ini, rakyat Papua sebagai penduduk yang menempati wilayah kaya emas, apakah mereka yang diuntungkan dengan adanya Freeport atau malah Amerika?

Faktanya, hingga kini Freeport ingin bebas melenggang menambang emas di bumi Cenderawasih itu tanpa aturan yang mengatur mereka.

Dengan kata lain, ketika dunia terkecoh dengan terorisme yang boleh jadi di desain untuk kepentingan besar Barat (Israel) sebagai peradaban, di saat yang sama teror ekonomi yang jauh lebih mengerikan dibiarkan berlangsung secara membabi buta.

Hendaknya pemerintah RI cerdas dalam menyikapi ini. Mungkin perlu mengingatkan warganya untuk tidak terjerumus pada tindakan terorisme, tetapi menyelamatkan rakyat dari teror ekonomi perusahaan asing jauh lebih penting untuk dilakukan, kalau memang ingin mewujudkan amanah UUD 1945 secara tulus, berani, jantan dan visioner.

Karena masalah inti dunia internasional hari ini sejatinya adalah kesenjangan ekonomi bukan bom-bom dan stigma yang direkayasa orang asing. Sadarlah!
Sumber: Hidayatullah

0 Response to "Barat dan Isu Terorisme"

Post a Comment