loading...

70 Tahun 'Beranda Rumah Kita' Dicaplok Singapura


Juwono Kolbioen
Juwono Kolbioen
Oleh Juwono Kolbioen
(Wakil Presiden Indonesia Aviation and Aerospace Watch/IAAW)

Singapura sepertinya masih begitu berkuasa terhadap Indonesia. Ini tercermin dari pengelolaan ruang udara yang ada di wilayah Kepulauan Riau. Luasannya mencakup Batam, Tanjungpinang dan Natuna. Ironisnya, 'penguasaan' itu telah berlangsung selama 70 tahun, tepatnya sejak setahun bangsa ini merdeka.

Luas penguasaan Singapura atas wilayah udara kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu mencapai 100 nautical mile, (1 NM = 1,825 kilometer). Artinya, luas kekuasaan Singapura di atas Indonesia sekitar 200 kilometer dari garis batas kedua negara.

Implikasi terhadap pengendalian ruang udara oleh Singapura itu sangat besar. Berdasarkan mandat yang didapat dalam pertemuan International Civil Aviation Organisation (ICAO) pada 1946, seluruh pesawat terbang, termasuk pesawat militer Indonesia yang akan mendarat, lepas landas, atau sekadar melintas di atas kawasan Batam, Tanjungpinang, dan Natuna, wajib memberikan informasi kepada Singapura dan harus mendapat izin dari Singapura. Apabila ada yang 'nekat', mereka (Singapura) dapat saja menembak. Padahal secara de facto, kawasan itu berada di dalam wilayah udara kedaulatan Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam perkembangan pengurusan alih kendali ruang udara dimaksud, sejak Juni 1999 Indonesia telah menerima 'setoran ala kadarnya' dari tetangga kita, Singapura. Setoran ala kadarnya itu merupakan hasil memungut Route Air Navigation Services (RANS) Charge dari pihak-pihak yang lalulalang di atas ruang beranda rumah kita. 

Sejak menerima setoran hingga sekarang, cenderung tidak ada perkembangan yang signifikan. Upaya alih kendali ruang udara kedaulatan di atas Kepulauan Riau dan Natuna seperti kehilangan darah. Sejauh ini upaya yang dilakukan hanya sebatas persiapan-persiapan untuk pengambilalihan. Sayangnya, hal tersebut hanya dilakukan secara sektoral.  

Sepertinya kita sudah cukup puas dengan menerima setoran ala kadarnya tersebut. Pertanyaan mendasar muncul; apakah dengan menerima setoran RANS Charge dari Singapura kita harus mengorbankan sovereignty (kedaulatan), security (keamanan), dan dignity (martabat)?

Perlu diketahui, setoran Singapura ke Indonesia itu dilakukan berdasarkan Minute of Discussion between CAA of Singapura dan DGCA Indonesia on the collection of RANS Charges. Ini terjadi karena perjanjian Indonesia dengan Singapura mengenai realignment garis batas FIR Singapura dengan FIR Jakarta belum ada pengesahan dari ICAO.

Lalu menjadi sangat menggelitik, RANS Charge yang diterima oleh Indonesia sejauh ini tidak dapat diketahui jumlah rinciannya. Berapa sebenarnya jumlah yang sudah diterima kepada negeri ini? Anehnya, hal tersebut sepertinya tidak terlalu dipermasalahkan. Padahal perlu diketahui dan dipahami bersama, RANS Charge yang diterima itu sesungguhnya hanya bernilai kecil serta sungguh tidak sebanding dengan hasil yang dapat diperoleh apabila ruang udara tersebut dikelola sendiri oleh Indonesia.

Lantas timbul pertanyaan, siapa-siapa saja yang selama ini menikmati hasil pungutan RANS Charge yang diperoleh dari para operator yang lalulalang di beranda rumah kita itu? Perlu kiranya dipahami, sektor 'A' pada Flight Information Region (FIR) Singapura itu adalah salah satu jalur transportasi udara yang paling sibuk di dunia.

Disamping itu, dengan dikendalikannya ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna oleh Singapura, telah menimbulkan potensi gangguan yang dapat menyebabkan melemahnya kedaulatan NKRI. Ini sungguh kondisi yang berbahaya dan harus diwaspadai. Ini merupakan bentuk nyata pelemahan kedaulatan. Tak hanya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan pertahanan-keamanan tetapi berhubungan erat juga dengan kehormatan dan harga diri bangsa.

Terkait kondisi yang telah terjadi (FIR Singapura) dan kemungkinan akan terjadi di wilayah udara kedaulatan Indonesia (dampak Open Sky Policy), hal ini sudah jelas menyimpang. Terutama terhadap segala sesuatu yang terkandung dalam keputusan dan harapan kita yang telah meratifikasi konvensi Jenewa 1944, yaitu tentang kedaulatan negara di udara yang lengkap dan eksklusif.  

Kondisi tersebut sepertinya dapat saja didiamkan dengan mencari sejumlah pembenaran. Namun membiarkan hal ini berlangsung tanpa ada upaya sama sekali untuk mengoreksinya adalah satu hal yang sangat merendahkan harga diri dan kehormatan bangsa! Perlu juga disadari, berapa kerugian yang diderita Indonesia setiap tahun? Apakah dengan berlama-lama itu adalah strategi yang benar?

Saya khawatir penetapan waktu sampai tahun 2024 itu didasarkan pada asumsi bahwa Singapura dan negara-negara tetangga lain itu statis, tidak memilki dan melaksanakan strategi untuk memperkuat posisi mereka masing-masing, baik di bidang ekonomi, politik maupun Hankam.  .

Di sinilah kita dapat melihat sampai sejauh mana kearifan pemerintah yang baru ini dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan langsung dengan harga diri dan kehormatan bangsanya. Saya melihat, perlu tiga hal yang harusnya dilakukan.

Pertama, mengatasi hal ini sesungguhnya tidak dapat dilakukan dengan mengadakan pokja, seminar, ataupun dengan menyampaikan atau mempublikasikan berbagai pernyataan pejabat, dan berbagai hal lain yang sifatnya hanya sekedar menyampaikan gagasan-gagasan ataupun saran pendapat. 

Kedua, persiapan tentunya harus dilakukan secara comprehensive integrated. Dalam arti, proses ini seharusnya melibatkan seluruh institusi terkait termasuk TNI. Selama ini persiapan yang dilakukan titik beratnya adalah pada Kementrian Perhubungan saja.


Ketiga, upaya yang dilakukan harus menjadi gerakan nasional terpadu. Untuk itu, seluruh masyarakat Indonesia harus paham dan tergugah semangatnya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan  NKRI sebagaimana yang diamanatkan pada UUD 1945.

Dimuat di: Republika

0 Response to "70 Tahun 'Beranda Rumah Kita' Dicaplok Singapura"

Post a Comment